Nama Malaikat itu adalah Mrs dan Mr Hara


Pagi itu, tepatnya jumat (18/06/10) untuk kali pertama aku menangis di kantor. Baru duduk di kursi kantor untuk melepas lelah setelah satu jam lebih mengendarai motor dari rumah tiba2 aku dikejutkan dengan berita di Milis Goodwill. Dalam milis  Ucapan belasungkawa bertebaran, kukira ini karena ada salah saru orang tua peserta goodwill yang wafat seperti lazimnya terjadi. Akan tetapi setelah melihat lebih dalam ternyata... nama Mr dan Mrs Hara lah yang tercantum di sana. Bergemuruh perasaan ini dan berharap itu adalah salah ketik atau saya yang salah memahami... namun berita di Antara mengenai kasus pembunuhan sepasang suami istri yang memuat nama mereka membuatku terpaksa meyakini kebenarannya.

Tetesan air mata itu membawaku kembali di satu rentang waktu kebersamaan terakhirku bersama mereka yang takkan pernah dapat kulupakan seumur hidupku, wisuda S1. Saat itu kali pertama aku melihat ayahku menangis, bukan karena wisudaku, bukan karena prestasiku dan bukan karena keharuan yang terjadi pada orangtua umumnya ketika mereka mendatangi wisuda anaknya. Ia menangis karena bertemu Mrs dan Mr Hara.

Ya Mrs dan Mr Hara hari itu menyempatkan diri menembus kemacetan darmaga yang luar biasa kala wisuda demi menyampaikan senyumannya pada anak2 mereka yang wisuda hari itu. Beliau meng SMS kami dan menyampaikan bahwa mereka sudah duduk bangga di tribune kiri atas GWW dan ingin bertemu dengan anak-anaknya. Saat itu saya sangat ingin mempertemukan "keempat" orangtua saya sehingga ketika prosesi wisuda selesai, alih2 menggunakan pintu keluar yang telah disediakan saya memilih langsung ke tribun atas dan menggandeng mereka bertemu orangtua kandungku.

Awalnya pembicaraan ayah dan Mrs Hara mengalir seperti biasa, karena kebetulan ayah cukup mahir berbahasa inggris, namun tiba2 kedua matanya memerah dan akhirnya mengalirkan air mata yang kemudian diikuti dengan pelukan tulus dari Mr. Hara. Jujur, saat itu saya dan ibu kaget karena itu kali pertama melihat beliau menangis. Karena ketika di rumah beliau adalah sosok yang keras dan dingin kepada anak-anaknya sehingga bagi kami kejadian itu adalah kejadian yang amat sangat langka.

Entah apa alasan sebenarnya ia menangis di hadapan mereka, namun andaikan saya boleh menduga adalah karena perasaan bersalahnya (padahal bagiku dia ayah yang luar biasa). Pensiun dininya sekitar 10 tahun yang lalu memang menempatkan ekonomi keluarga kami labil. Lepas tingkat dua di IPB, praktis aliran uang bulanan dan spp semesteran berhenti dari orangtua. Saya masih ingat masa-masa itu ketika saya kemudian mengurangi waktu makan dari 3x menjadi 2x sehari serta memangkas berbagai pengeluaran demi mengirit uang saku dan menabung untuk SPP. Saya bisa membayangkan perasaan sedih seorang ayah yang merasa tidak bisa membantu pendidikan anaknya walaupun saya sama sekali tidak menyalahkannya karena sebenarnya apa yang telah ia lakukan selama ini adalah lebih dari cukup untuk masa depan saya. Namun saya tak menyangka perasaan bersalah itu sangat besar sehingga mampu menjadi tetesan air mata kepada orang yang dianggap telah membantu masa depan anaknya.

Saya sempat mengabadikan momen indah kebersamaan itu dalam sebuah foto yang akan selalu saya simpan untuk mengenangnya.

==============================================================

Kini, sabtu 19/06/10 pukul 13:42,  saya berdiri bersama teman-teman menatap nanar ke arah mobil ambulan itu. Di ambulan itulah bersemayam salah satu manusia termulia yang namanya akan terus ada di hatiku. Mereka yang dengan senyumannya terus peduli terhadap nasib pendidikan para remaja Indonesia, yang bahkan mungkin melebihi bangsa kita sendiri. Mereka yang bahkan dalam usia mereka yang sudah renta masih sanggup mencurahkan perhatian yang sangat personal kepada kami tak ubahnya seperti kepada anak kandung sendiri. Mereka adalah malaikat kami.

Selamat Jalan Mrs. dan Mr Hara
Kami selalu mencintai kalian.

Comments

Popular posts from this blog

Membuat Iklan TV yang Berhasil

Mengetuk Pintu Akhirat, Kecelakaan yang mengubah kehidupan

Kegelisahanku