Never Greater Work Preassure than Now
Gw : "Bunga, saya dihubungi dokter yang mau seminar, katanya sample belum, gimana ceritanya"
Bunga : "Bentar pak saya cek dulu"....
(4 menit kemudian)
Bunga : "Pak ternyata kemarin produknya sudah dikirim, tapi karena ga ada orang di tempat, jadinya dibawa pulang lagi"
Gw : "Lho kok bisa, dokternya mau seminar ini, malu kalo produknya ga sampe, ini relate ke relationship. kenapa kemarin ga ada yang ngasih tau saya kalo ga ada orang di sana?"
Bunga : "Iy apak, kemarin kan HP saya ketinggalan"
Gw : "Itu bukan alasan yang bagus bunga..."
Bunga : "SAYA MAH SALAH MELULU, BAPAK URUSIN AJA SENDIRI"....
Beng.. sesaat saya tertegun membaca BBM dari admin saya itu, kesal sekaligus rasa capek karena sedang menyetir cukup membuat saya naik pitam, "what the hell..",. what kind of subordinate tell those word to her boss?.
Namun kemudian, seraya menunggu pemanggilan NUP di salah satu perumahan di Serpong, saya merenung, how could this be happen? am I the bad boss?. Selintas alam pikiran saya kembali ke masa lalu dimana saya bersumpah harus menjadi Brand Manager sebuah brand bersar dan Mampu membeli Rumah dua lantai di sekitar jakarta sebelum umur 30 tahun. And here I am, Brand Manager product Energen dengan omset di atas 1 T dengan share >70%. Namun kemudian saya bertanya. What the meaning of become manager, if it was only the title? if your only subordinate unrespect you?. Karena respect adalah something that you fight for, not just own by any title or granted as boss.
Saya coba tarik kembali ingatan, kenapa sampai dia bisa sekesal itu, whats wrong with me?. Semua bermula dari pikiran, dan load pekerjaan yang luar biasa, ditambah urusan rumah, KPR, Keluarga yang minta pulang cepet ke rumah, ini itu yang seolah kompak membuat saya stress to the max. Terlebih ketika tim berkurang satu dan berbagai project besar, movement Sarapan Sehat Sebelum Jam 9, BTL dan ATL yang semuanya berdekatan. Its just like never ending job Hasilnya adalah saya mempercepat tempo pekerjaan, seolah kerja tanpa istirahat, menyelesaikan ini itu dan seringkali dengan kondisi kepala yang pusing. Mengalami such a torture, saya merasa orang lain juga harus bekerja sekeras dan secepat itu. Sehingga jika mereka sedikit melakukan kesalahan, atau lambat, atau terjadi salah paham, saya tidak segan-segan menyalahkan mereka, tak hanya tim internal, bahkan agency pun saya perlakukan hal yang sama. Saya anggap mereka tidak bisa menyamai kecepatan yang saya harapkan.
Hal ini pun saya terapkan karena dulu saya mengalami hal serupa dengan mantan bos di perusahaan jepang, yang sangat saya hormati, Negishi san namanya. Hampir tidak pernah ada hari di mana saya tidak dimarahi, salah ini lah, belum follow up itu lah. Hingga kebawa ke alam mimpi dan takut untuk berangkat kerja. Seolah digaji hanya untuk dimarahi. Namun perlahan saya lihat dengan sendirinya diri saya tumbuh, dan belajar banyak dari beliau. Dan in the end saya mendapati in the end saya lah yang diuntungkan. Tadinya, saya ingin melakukan hal serupa pada tim saya, dengan terus memberikan pressure dan tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan, terlebih kalo masih sempat baca2 majalah dsb. Tapi justru ungkapan seperti di awal cerita ini yang saya dapat. Kemarin saya masih merasa egois dan bilang bahwa dia terlalu "moody" dan ga bisa terima work pressure.
Namun kebetulan bos saya, pa Ricky Afrianto, memberikan referensi buku "Predictable Irrational", dan melihat link videonya di youtube (TEDs). Paling tertarik adalah ketika riset mengenai pembuatan Origami. Sekelompok mahasiswa dibagi menjadi dua group, keduanya di berikan perintah yang sama, yaitu setiap Origami yang jadi, akan dibayar 1 dollar. Group pertama dibekali unlimited origami paper, sehingga setelah jadi disimpan dan kemudian bisa mengambil kertas lain untuk dibuat origami. Sedangkan group ke dua hanya dibekal 2 kertas, dimana saat yang satu jadi, ada orang lain yang akan membongkarnya di hadapan mereka, untuk dijadikan kertas siap lipat lagi (setiap origami yang jadi, terlepas kemudian dibongkar lagi, tetap dihitung yang sama). Hasilnya, bisa ditebak, bahwa yang grup 1 bisa membuat lebih banyak origami, walaupun dengan insentif yang sama besar.
Pointnya, tiap orang harus melihat bahwa apa yang dilakukannya menjadi berarti dan ada hasilnya. Bukan justru sebaliknya, terus disalahkan di dean matanya, seolah pekerjaannya ga pernah beres.
And thats exactly whats I have to improve, thats it..!
Weeew, Terakhir nulis blog sudah 5 tahun lalu (2010), dan baru sekarang akhirnya nulis blog lagi. Dan should be great reason for me to write this blog again, and yep this is it.
Gw ga bermaksud membuat tulisan ini sebagai curhatan, tapi lebih ke pengakuan dosa, dengan harapan siapapun yang baca blog ini bis amengambil pelajaran darinya. do not easy to blame, try improve anyone around us. See ya
Bunga : "Bentar pak saya cek dulu"....
(4 menit kemudian)
Bunga : "Pak ternyata kemarin produknya sudah dikirim, tapi karena ga ada orang di tempat, jadinya dibawa pulang lagi"
Gw : "Lho kok bisa, dokternya mau seminar ini, malu kalo produknya ga sampe, ini relate ke relationship. kenapa kemarin ga ada yang ngasih tau saya kalo ga ada orang di sana?"
Bunga : "Iy apak, kemarin kan HP saya ketinggalan"
Gw : "Itu bukan alasan yang bagus bunga..."
Bunga : "SAYA MAH SALAH MELULU, BAPAK URUSIN AJA SENDIRI"....
Beng.. sesaat saya tertegun membaca BBM dari admin saya itu, kesal sekaligus rasa capek karena sedang menyetir cukup membuat saya naik pitam, "what the hell..",. what kind of subordinate tell those word to her boss?.
Namun kemudian, seraya menunggu pemanggilan NUP di salah satu perumahan di Serpong, saya merenung, how could this be happen? am I the bad boss?. Selintas alam pikiran saya kembali ke masa lalu dimana saya bersumpah harus menjadi Brand Manager sebuah brand bersar dan Mampu membeli Rumah dua lantai di sekitar jakarta sebelum umur 30 tahun. And here I am, Brand Manager product Energen dengan omset di atas 1 T dengan share >70%. Namun kemudian saya bertanya. What the meaning of become manager, if it was only the title? if your only subordinate unrespect you?. Karena respect adalah something that you fight for, not just own by any title or granted as boss.
Saya coba tarik kembali ingatan, kenapa sampai dia bisa sekesal itu, whats wrong with me?. Semua bermula dari pikiran, dan load pekerjaan yang luar biasa, ditambah urusan rumah, KPR, Keluarga yang minta pulang cepet ke rumah, ini itu yang seolah kompak membuat saya stress to the max. Terlebih ketika tim berkurang satu dan berbagai project besar, movement Sarapan Sehat Sebelum Jam 9, BTL dan ATL yang semuanya berdekatan. Its just like never ending job Hasilnya adalah saya mempercepat tempo pekerjaan, seolah kerja tanpa istirahat, menyelesaikan ini itu dan seringkali dengan kondisi kepala yang pusing. Mengalami such a torture, saya merasa orang lain juga harus bekerja sekeras dan secepat itu. Sehingga jika mereka sedikit melakukan kesalahan, atau lambat, atau terjadi salah paham, saya tidak segan-segan menyalahkan mereka, tak hanya tim internal, bahkan agency pun saya perlakukan hal yang sama. Saya anggap mereka tidak bisa menyamai kecepatan yang saya harapkan.
Hal ini pun saya terapkan karena dulu saya mengalami hal serupa dengan mantan bos di perusahaan jepang, yang sangat saya hormati, Negishi san namanya. Hampir tidak pernah ada hari di mana saya tidak dimarahi, salah ini lah, belum follow up itu lah. Hingga kebawa ke alam mimpi dan takut untuk berangkat kerja. Seolah digaji hanya untuk dimarahi. Namun perlahan saya lihat dengan sendirinya diri saya tumbuh, dan belajar banyak dari beliau. Dan in the end saya mendapati in the end saya lah yang diuntungkan. Tadinya, saya ingin melakukan hal serupa pada tim saya, dengan terus memberikan pressure dan tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan, terlebih kalo masih sempat baca2 majalah dsb. Tapi justru ungkapan seperti di awal cerita ini yang saya dapat. Kemarin saya masih merasa egois dan bilang bahwa dia terlalu "moody" dan ga bisa terima work pressure.
Namun kebetulan bos saya, pa Ricky Afrianto, memberikan referensi buku "Predictable Irrational", dan melihat link videonya di youtube (TEDs). Paling tertarik adalah ketika riset mengenai pembuatan Origami. Sekelompok mahasiswa dibagi menjadi dua group, keduanya di berikan perintah yang sama, yaitu setiap Origami yang jadi, akan dibayar 1 dollar. Group pertama dibekali unlimited origami paper, sehingga setelah jadi disimpan dan kemudian bisa mengambil kertas lain untuk dibuat origami. Sedangkan group ke dua hanya dibekal 2 kertas, dimana saat yang satu jadi, ada orang lain yang akan membongkarnya di hadapan mereka, untuk dijadikan kertas siap lipat lagi (setiap origami yang jadi, terlepas kemudian dibongkar lagi, tetap dihitung yang sama). Hasilnya, bisa ditebak, bahwa yang grup 1 bisa membuat lebih banyak origami, walaupun dengan insentif yang sama besar.
Pointnya, tiap orang harus melihat bahwa apa yang dilakukannya menjadi berarti dan ada hasilnya. Bukan justru sebaliknya, terus disalahkan di dean matanya, seolah pekerjaannya ga pernah beres.
And thats exactly whats I have to improve, thats it..!
Weeew, Terakhir nulis blog sudah 5 tahun lalu (2010), dan baru sekarang akhirnya nulis blog lagi. Dan should be great reason for me to write this blog again, and yep this is it.
Gw ga bermaksud membuat tulisan ini sebagai curhatan, tapi lebih ke pengakuan dosa, dengan harapan siapapun yang baca blog ini bis amengambil pelajaran darinya. do not easy to blame, try improve anyone around us. See ya
tulisan yg mudah dimengerti
ReplyDeletetulisan yg mudah dimengerti
ReplyDeleteSetiap kejadian pasti ada hikmahnya.... berfikir positif,melakukan yg terbaik,selanjutnya serahkan kpd Sang Pemilik bumi dan seisinya. semangat ya Pak :)
ReplyDelete