Implementasi Total Quality Control Pada Lembaga Kemahasiswaan

Oleh : M.T.Assyaukani*

Buah pemikiran ini muncul ketika seorang mahasiswa bertanya kepadaku:

“ Jika ingin punya riwayat organisasiuntuk cv tapi tak perlu kerja maka masuklah ke Dewan Perwakilan Mahasiswa”.

Menusuk, itulah kata yang paling mewakili perasaan saya saat pertanyaan itu dilontarkan. Sebuah kritik yang efektif dan melecut untuk mengevaluasi diri dan organisasi. Namun yang lebih penting, dari pertanyaan itulah muncul sebuah pertanyaan mendasar yang harus kita jawab bersama : “Sudah seberapa baik sistem pengawasan terhadap lembaga kemahasiswaan kita sehingga bisa muncul pertanyaan itu?”.

Kecenderungan system controlling terhadap LK (Lembaga Kemahasiswaan) baik itu BEM maupun HIMPRO saat ini, adalah analogi dari system pengawasan pemerintahan, yaitu keberadaan presiden (eksekutif) dan parlemen (legislatif).Maka tak mengherankan ketika pertanyaan itu muncul, karena pertanyaan itu pula yang kerap kali kita tanyakan pada wakil rakyat di Senayan sana, yaitu pertanyaan skeptis mengenai :”apa sebenarnya kerja mereka?”.

Di lain pihak, kemajuan konsep manajemen industri mengenalkan kita pada suatu konsep pengawasan yang revolusioner. Konsep yang terbukti efektif sehingga saat ini diterapkan oleh hampir seluruh perusahaan yang ingin tetap survive dalam persaingan. Konsep pengawasan itu adalah itu adalah Total Quality Control.

Total Quality Control (TQC) pertama kali dikenalkan oleh Deming di Jepang seabgai suatu konsep manajemen. International Organization for Standardization (ISO) mendefinisikan TQC sebagai berikut :

TQC adalah pendekatan manajemen dalam organisasi yang berpusat pada kualitas, berdasar pada partisipasi dari seluruh anggotanya dan memiliki tujuan sukses jangka panjang melalui kepuasan konsumen dan keuntungan bagi anggota organisasi tersebut dan masyarakat umum

LK sebagai sebuah organisasi harusnya dapat pula menerapkan kebijakan TQC selama memang terdapat komitmen untuk itu. Namun pada tataran realita, apakah yang hal ini bisa dilakukan?.

Tentu saja tak mudah untuk kita menerapkan konsep TQC perusahaan pada organisasi semacam lembaga kemahasiswaan. Hal itu disebabkan karana LK adalah lembaga non-profit sedangkan perusahaan sebaliknya. Oleh karena itu konsep perusahaan ini membutuhkan beberapa adaptasi dan penyesuaian agar bisa diterapkan pada tipe organisasi lembaga kemahasiswaan.

Pada tulisan ini. Penulis tidak akan menjelaskan lebih jauh apa itu TQC karena fokus tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan, apakah implementasi TQC dapat dilakukan di LK kita?. Secara teoritis, jawaban seharusnya adalah YA, karena LK adalah suatu organisasi pula yang disebutkan dalam definisi TQC diatas. Namun bagaimana hal ini di praktekkan adalah suatu seni tersendiri yang harus dipelajari.

Berdasarkan pengalaman hampir satu tahun berada dalam salah satu system pengawasan , penulis mencoba merumuskan beberapa langkah konkret yang mungkin bisa dilakukan dalam LK sebagai penerapan dari TQC ini, beberapa ide tersebut antara lain :

Pertama. Komitmen mengawasi dan diawasi oleh manajer puncak. Selama pihak yang paling atas tidak memiliki itikad baik untuk menjalankan system pengawasan terlebih lagi enggan untuk diawasi, maka keseluruhan system pengawasan akan lumpuh. Oleh karena itu dibutuhkan komitmen pengawasan sebagai sikap yang muncul dari persepsi ketua/manajer puncak mengenai pentingnya fungsi pengawasan ini. Komitmen ini juga termasuk mengenai pengadaan sarana prasarana serta dana operasional.

Kedua, Harus ada tim pengawas internal. Penerapan TQC dalam perusahaan adalah bagian dari manajemen perusahaan tersebut, begitu pula dalam LK. Tim QC seharusnya merupakan kesatuan integral dalam system kepengurusan, bukan bagian terpisah seperti keberadaan DPM maupun BP saat ini. Pemisahan system pengawasan cenderung untuk menimbulkan sikap saling mengabaikan bahkan menganggap remeh, apalagi pada BP yang memiliki kedudukan yang sederajat dengan kepengurusan.

Ketiga, Adanya suatu standar kualitas kegiatan. Kecenderungan yang penulis lihat dalam penerapan kegiatan saat ini adalah kurangnya perhatian pada segi kualitas pelaksanaan program. Pelaksanaan cenderung hanya untuk menggugurkan kewajiban proker dan sisi kualitas ini hampir dipercayakan secara penuh terhadap panitia yang bersangkutan tanpa banyak rambu-rambu maupun break down target pencapaian kualitas program yang terukur dan realistis dari organisasi tersebut.

Keempat, Berjalannya siklus evaluasi, karena TQC adalah perputaran siklus dari Plan, Do, Check dan Act. Pada LK siklus ini dapat diaktifkan dengan mekanisme penguatan peran SC dalam kepanitiaan. SC yang ada haruslah tim yang terdiri orang-orang yang telah berpengalaman melakukan kegiatan itu sehingga kesalhan-kesalahan yang sama taka akan terulang lagi. Selain itu haruslah ada tim khusus yang mengevaluasi kinerja awal panitia/pengurus untuk menentukkan dan memprediksi titik mana yang harus diperbaiki, sebelum segalanya menjadi terlambat sehingga sulit diatasi.

Kelima, Terdapatnya mekanisme evaluasi terhadap kinerja pengawasan. Controlling, sebagai salah satu fungsi dari manajemen tentu saja harus terus di evaluasi hingga menemukan system yang paling cocok. Kinerja suatu organisasi yang dinamis tak mungkin memiliki fungsi pengawasan yang baik kecualli diikuti oleh dinamisme yang terjadi pada tim kendali mutu.

Lima aksi diatas yang menurut penulis merupakan langkah konkret untuk memperbaiki kinerja dari lembaga pengawasan. Tentu saja ini sekedar ide dari penulis yang pengalamannya masih hijau atas realita yang ada, karena saya yakin tidak ada seorang pun yang berhak melarang kita mengekspresikan hati kita lewat tulisan, tentu saja tetap dengan cara arif dan sopan -red.

*Penulis adalah kordinator badan pengawas Himitepa 2005-2006

Kritik atau saran mengenai ide ini dapat disampaikan ke assyaukani@gmail.com

Comments

Popular posts from this blog

Waspadai Daging Babi Oplosan

Mengetuk Pintu Akhirat, Kecelakaan yang mengubah kehidupan

Membuat Iklan TV yang Berhasil