KETAHANAN PANGAN, KEBAIKAN ATAUKAH KESALAHAN

Selama ini kita dicecoki dengan pentingnya ketahanan pangan dalam menjamin perkembangan negara kita, kita tidak tahu bahwa di dalamnya terkandung doktrin-doktrin neoliberalisme yang bertujuan untuk menjadikan negara berkembang –seperti yang namanya Indonesia- sebagai mangsa empuk produk negara-negara maju..

Hampir sebelas tahun sudah semenjak paradigma ketahanan pangan (Food Security) dicetuskan dalam FAO World Food Summit 1996. Saat itu seluruh negara anggota bertekad mengurangi setengah dari jumlah kelaparan dunia yang saat itu mencapai angka 850 juta. Memang sejak itu jumlah produksi pangan meningkat sebesar 30% dari jumlah semula. Akan tetapi jumlah angka kelaparan justru meningkat menjadi 920 Juta pada tahun 2006*. Sebuah paradoks ? Apa yang salah ?

Jenewa, Senin 24 Juli 2006, perundingan Organisasi Perdagagan Dunia (WTO) mengalami kebuntuan. Kebuntuan ini memulai krisis perdagangan yang dimulai dari putaran Hongkong setahun sebelumnya. Krisis diawali dengan ketidaksepakatan terutama pada perdagangan bidang industri dan pertanian. Hal yang tersisa adalah renungan bagi pesertanya mengenai kesalahan besar dalam tatanan sistem perdagangan global saat ini.

Di dalam sebuah ruang kuliah, seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB sedang duduk mendengarkan dosen berbicara. Sang dosen menjelaskan mengenai pentingnya efisiensi saat ini untuk terus berkompetisi. “Selama bahan baku bisa lebih murah dengan mengimpor, maka imporlah”, ujarnya menjelaskan. Di sisi lain, di desa yang dekat dengan kita, para peternak susu harus kembali bersedih karena harga susu mereka lebih mahal dari pada susu dumping dari Australia dan New Zealand . Para petani kedelai di Jawa Timur harus menghentikan produksi mereka karena kedelei mereka kalah laku dibanding kedelai GMO-nya Monsanto, Amerika Serikat. Dan para pahlawan beras kita harus lagi-lagi bersiap untuk menangis karena bulan Juni tahun ini (2007) pemerintah tengah menyiapkan rencana impor beras super murahnya Vietnam untuk diadu dengan beras produksi mereka.

Sampai kapankah kita harus mendengar fakta-fakta satir ini?. Sampai kapan rakasasa Nestle, Monsanto, haroen Pokphand dan kawan-kawan kapitalisnya tertawa di atas penderitaan petani kita?. Apakah demi memberi jaminan kondisi dimana setiap waktu dan setiap orang mendapat akses kepada bahan pangan -sesuai definisi ketahanan pangan- maka saat itu juga kita harus mengorbankan harga diri bangsa ini dalam mencukupi kebutuhannya sendiri. Ketahanan pangan tak menjelaskan –dan tak mementingkan- darimana bahan makanan itu sehingga tidak masalah bila kita harus mengimpor bahan makanan tersebut. Ketahanan tak menjawab kehancuran perasaan petani-petani kita akibat globalisasi perdagangan dunia yang makin menyengsarakan mereka. Rekan-rekan sekalian, Waktunya untuk Kedaulatan Pangan.

Comments

Popular posts from this blog

Membuat Iklan TV yang Berhasil

Mengetuk Pintu Akhirat, Kecelakaan yang mengubah kehidupan

Kegelisahanku