Beras, Kawan yang Mengancam : Sebuah satir tentang diversifikasi pangan

“Ketahanan pangan merupakan hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan atas pangan dan penjajahan melalui pangan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

- Bayu Krisnamurti -

Makanan pokok bangsa kita pada masa lalu amatlah beragam, mulai dari tiwul di Jawa, jagung di Madura, Sagu di wilayah timur serta aneka ragam pangan pokok lain yang terdapat di tiap daerah. Namun keragaman itu kini kian sirna, kemanapun kita pergi ke pelosok negeri ini, akan sulit menemukan daerah yang tidak menjadikan nasi sebagai bahan pokoknya. Nasi secara cepat dan pasti merebut hati masyarakat kita dari makanan lokal yang ada di daerah masing-masing.

Realita ini bukannya tidak menimbulkan masalah, budaya konsumsi beras yang “menasional” ini mengakibatkan meroketnya permintaan terhadap beras di pasaran. Celakanya kenaikan ini tidak diiriingi peningkatan luas lahan-lahan sawah yang umumnya berada di tanah jawa. Atas nama “kemajuan zaman”, alih-alih makin meluas, wilayah pertanian kita justru semakin menyempit tergerus oleh roda pembangunan. yang menambatkan gedung-gedung megahnya diatas tanah yang terkenal akan kesuburannya ini.

Fenomena tersebut memaksa pemerintah untuk mengimpor beras demi tetap memenuhi permintaan domestik terhadap beras. Pada tahun 2004 ketergantungan impor beras berdasarkan jumlah energi yang dikonsumsi mencapai 10,83 k kal/kap/hari atau sebesar 1,02 persen (Suryaman, 2006). Bila angka tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk dan dikonversikan dengan harga beras, maka aliran devisa ke negara pengekspor mencapai miliaran rupiah. Selain itu beras juga masih merupakan komponen utama dalam konsumsi energi per kapita yakni sebesar 54. Jika dibiarkan maka seiring naiknya jumlah penduduk Indonesia maka angka konsumsi beras akan semakin meningkat dan bangsa kita akan semakin mengalami ketergantungan terhadap impor beras dari negara lain. Inilah yang kemudian disebut oleh Bayu Krisnamurti sebagai "penjajahan atas pangan" . Pada akhirnya kondisi ketahanan pangan bangsa Indonesia akan terancam.

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah melalui penganekaragaman (diversifikasi) pangan yaitu proses perubahan pola konsumsi pangan yang tidak tergantung kepada satu jenis bahan saja, tetapi memanfaatkan macam-macam bahan pangan. Program diversifikasi pangan adalah program yang paling strategis dan cepat untuk pencapaian kondisi ketahanan pangan bangsa. Berbagai usaha seperti ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian mungkin solusi yang dapat ditempuh namun kedua solusi ini membutuhkan waktu lama dalam penerapannya. Ekstensifikasi mengharuskan pemerintah membebaskan lahan-lahan untuk dijadikan lahan pertanian . Program tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar dan rasanya kurang realistis di era pembangunan sekarang. Sedangkan program intensifikasi pertanian membutuhkan waktu dan biaya untuk penelitian-penelitian dan penyuluhan teknis kepada petani yang ada di setiap daerah.. Oleh karena itu diversifikasi pangan adalah solusi yang paling jitu untuk masalah ini.

Keberhasilan upaya penganekaragaman pangan terutama ditentukan oleh faktor produksi pangan, perkembangan teknologi pangan dan kemampuan daya beli untuk mengakses pangan.. Namun faktor yang paling berpengaruh dalam keberhasilan usaha penganekaragaman (diversifikasi) pangan adalah faktor kesadaran masyarakat menangani pentingnya konsumsi pangan yang beragam dengan gizi yang .berimbang. Sudah hal yang lumrah bahwa pada umumnya masyarakat kita walaupun sudah menyantap berbagai makanan tetapi merasa “belum makan” apabila tidak ada nasi pada menu makanannya. Paradigma “kecintaan” masyarakat terhadap beras ini harus diubah perlahan-lahan kearah pola konsumsi berbasis diversifikasi pangan.

Bahan pangan yang dikembangkan sebisa mungkin berbasis komoditas lokal dengan memperhatikan aspek ketersediaan di masa depan agar lebih mudah diakses oleh masyarakat Namun persoalan pokok yang dihadapi dalam upaya ini adalah tertananamnya citra inferior terhadap pangan lokal sumber karbohidrat seperti singkong, jagung, ubi ataupun sagu . Masyarakat menganggap produk makanan dari bahan tersebut (misalnya tiwul) adalah makanan masyarakat kelas bawah sehingga sedapat mungkin berusaha untuk tidak mengkonsumsinya..

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pendekatan upaya divesifikasi pangan hendaknya memperhatikan aspek-aspek psikologis masyarakat yang telah tertanam. Beberapa pendekatan tersebut antara lain :

1. Upaya penganekaragaman pangan seyogyakan mengedepankan aspek pengembangan sumber daya manusia melalui konsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang. Dengan demikian upaya keterpenuhan gizi dan peningkatan kesehatan masyarakat lebih menonjol daripada aspek-aspek lainnya.

2. Usaha diversifikasi pangan jangan dikaitkan langsung dengan upaya pengentasan kemiskinan dan penanggulangan bencana. Hal ini sangat penting terkait dengan adanya citra masyarakat yang menganggap makanan selain nasi hanya perlu dikonsumsi hanya pada kondisi darurat saja.

3. Karena beras merupakan fokus utama dari upaya diversifikasi pangan maka penurunan angka konsumsi beras (ingat..bukan angka produksi) harus dijadikan sasaran dari upaya penganekaragaman pangan.

4. Penjalinan kerjasama yang erat dengan industri pangan. Industri pangan merupakan garda depan dalam proses pengolahan pangan berbasis komoditi non beras. Inovasi yang dapat dilakukan oleh industri memungkinkan naiknya citra bahan pangan sumber karbohidrat lain dimata masyarakat. Misalnya saja dengan kehadiran tiwul instant, makanan tradisional sebagian penduduk di Jawa, bahan bakunya bisa diperkaya dengan campuran berbagai bahan sehingga mendapatkan nilai optimum dari segi rasa, harga dan kandungan gizinya.

Pada akhirnya pendekatan-pendekatan tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya political will” yang konsisten dari pemerintah terkait upaya diversifikasi pangan. Banyak kebijakan pemerintah yang –meminjam istilah Maman Suryaman- bersifat “Berassentris”. Contoh paling nyata adalah Operasi Pasar yang selama ini dilakukan pemerintah. Ketika harga beras naik tak terkendali, pemerintah lebih memilih untuk menggelontorkan beras yang pada akhirnya memanjakan kaum perkotaan dan mencekik leher para petani yang harus menderita karena harga beras turun. Padahal jika pemerintah konsisten dengan upaya diversifikasi pangan maka pemerintah dapat mengembangkan produk yang sekiranya dapat diterima oleh konsumen untuk menggantikan beras, sehingga kedua pihak , baik konsumen dan petani dapat sama-sama diuntungkan. Akan tetapi “politik nasi” ini entah kenapa tetap dipertahankan dari masa ke masa. Apakah mungkin demi tetap mendapat kepercayaan rakyat untuk tetap mendapat beras? Mungkin saja, karena kepentingan jangka pendek pemerintah tiap periodenya memang tak pernah berubah yaitu “pemilu yang akan datang”.

Comments

Popular posts from this blog

Membuat Iklan TV yang Berhasil

Mengetuk Pintu Akhirat, Kecelakaan yang mengubah kehidupan

Kegelisahanku