Teman dan Keterbukaan : Antara niat baik dan sakit hati
Dy, beberapa minggu lalu kani sempet mendapat tarining yang cukup mencerahkan. Di salah satu sesinya mengatakan bahwa kita harus lebih terbuka dengan anggota tim yang lain, dengan keterbukaan itu diharapkan tim akan menjadi lebih solid. Selain itu juga keterbukaan, termasuk kritik dan saran didalamnya, membuka celah saling introspeksi yang saling membangun untuk kemajuan bersama, secara teori sepertinya benar, namun pada prakteknya hasilnya menjadi di luar dugaan...
Cerita ini bermulai dari usaha keterbukaan ku terhadap salah seorang temanku, teman yang dekat dan saya berharap dia bisa mendapat masukan dari keterbukaan ini. Selain itu temanku yang satu ini sebenarnya teman yang sangat berharga dan berkontribusi besar pada diriku sehingga aku juga sangat sayang sebagai teman padanya, namun memang ada beberapa kekurangan pada dirinya di kacamataku, oleh karena itu aku mau mencoba terbuka dengannya dengan harapan ini dapat berguna baginya..Namun ternyata ceritanya tak seindah kenyataan..
Singkat cerita saya pun mengundang dia untuk makan malam,saya mulai dengan pertanyaan apakah dia ada kritikan untuk diriku?, kemudian saya sampaikan bahwa saya mau mengkritiknya dengan berdasar pada keinginnan untuk membangun semata dan karena saya sayang kepadanya sebagai teman. Dan kritikan ku pun mengalir, saya awali dengan menyampaikan pujian atas berbagai prestasinya yang berada di atas saya dan berbagai kelebihannya secara objektif, serta betapa sebagai teman dia sangat berharga bagi saya. Namun bagian yang paling sulit ketika saya masuk ke sesi untuk mengkritik dia. Saya memutar otak agar bagaimana kata2ku tidak menyakiti hatinya. Perlahan saya sampaikan bahwa terkadang ucapannya tidak berkenan di hatiku, dan aku ingin dia lebih bisa menata perkataanya atau minimal memahamai kondisi kapan sebuah kata bisa dimunculkan sebagai candaan atau justru dapat menjadi bumerang. Saya sampaikan padanya mmasa-masa ketika perkataanya menyakiti hatiku, dan aku ingin dia tahu hal itu. Bukan karena saya masih dendam atau sakit hati, hal ini semata2 hanya ingin agar dia tahu bahwa mungkin itu adalah hal yang perlu diperbaiki dan berguna bagi masa depannya.
Sangat sulit bagiku memang untuk bertindak seperti ini karena pada dasarnya saya adalah orang yang tertutup dan enggan berbagi dengan teman, tapi hanya satu yang terpikir di otak ini, "Dia adalah teman baikku, dan sekarang sudah tingkat akhir, jika saya tidak menyampaikan apa yang dalam pandanganku salah, mungkin saja kesalahan itu akan dia lakukan pada orang lain seterusnya, karena dia tidak tahu. Di posisi itulah saya sebagai teman yang sayang padanya tidak mungkin duduk tenang dan merasa tidak terjadi apa2, saya harus sampaikan padanya, saya harus mengkritik dia.. bukan karena saya dendam atau sakit hati sampai sekarang, tapi karena saya sayang dia, sayang teman saya karena itu saya harus menyampaikan hal itu".
Saya sudah mengira usaha ini akan ada efek samping, tapi saya tidak tahu akan sebesar ini, sejak itu rasanya hubungan kami kian longgar, saya khawatir ini bukan saja karena kami jarang ketemu tapi juga karena masalah malam itu. Saya jadi bingung apakah saya sudah melakukan hal yang tepat atau justru sebaliknya. Yang saya tau ternyata ada syok dan kaget ketika kita mengetahui kondisi yang sebenarnya tidak seperti yang kita duga. Kita terkadang tidak nyaman dengan kondisi nyata dan lebih memilih untuk berada di balik topeng. Tapi sekali lagi, hanya satu niat saya, karena sebagai teman, saya sayang padanya, tidak kurang tidak lebih.
(Dear friend please forgive me)
Cerita ini bermulai dari usaha keterbukaan ku terhadap salah seorang temanku, teman yang dekat dan saya berharap dia bisa mendapat masukan dari keterbukaan ini. Selain itu temanku yang satu ini sebenarnya teman yang sangat berharga dan berkontribusi besar pada diriku sehingga aku juga sangat sayang sebagai teman padanya, namun memang ada beberapa kekurangan pada dirinya di kacamataku, oleh karena itu aku mau mencoba terbuka dengannya dengan harapan ini dapat berguna baginya..Namun ternyata ceritanya tak seindah kenyataan..
Singkat cerita saya pun mengundang dia untuk makan malam,saya mulai dengan pertanyaan apakah dia ada kritikan untuk diriku?, kemudian saya sampaikan bahwa saya mau mengkritiknya dengan berdasar pada keinginnan untuk membangun semata dan karena saya sayang kepadanya sebagai teman. Dan kritikan ku pun mengalir, saya awali dengan menyampaikan pujian atas berbagai prestasinya yang berada di atas saya dan berbagai kelebihannya secara objektif, serta betapa sebagai teman dia sangat berharga bagi saya. Namun bagian yang paling sulit ketika saya masuk ke sesi untuk mengkritik dia. Saya memutar otak agar bagaimana kata2ku tidak menyakiti hatinya. Perlahan saya sampaikan bahwa terkadang ucapannya tidak berkenan di hatiku, dan aku ingin dia lebih bisa menata perkataanya atau minimal memahamai kondisi kapan sebuah kata bisa dimunculkan sebagai candaan atau justru dapat menjadi bumerang. Saya sampaikan padanya mmasa-masa ketika perkataanya menyakiti hatiku, dan aku ingin dia tahu hal itu. Bukan karena saya masih dendam atau sakit hati, hal ini semata2 hanya ingin agar dia tahu bahwa mungkin itu adalah hal yang perlu diperbaiki dan berguna bagi masa depannya.
Sangat sulit bagiku memang untuk bertindak seperti ini karena pada dasarnya saya adalah orang yang tertutup dan enggan berbagi dengan teman, tapi hanya satu yang terpikir di otak ini, "Dia adalah teman baikku, dan sekarang sudah tingkat akhir, jika saya tidak menyampaikan apa yang dalam pandanganku salah, mungkin saja kesalahan itu akan dia lakukan pada orang lain seterusnya, karena dia tidak tahu. Di posisi itulah saya sebagai teman yang sayang padanya tidak mungkin duduk tenang dan merasa tidak terjadi apa2, saya harus sampaikan padanya, saya harus mengkritik dia.. bukan karena saya dendam atau sakit hati sampai sekarang, tapi karena saya sayang dia, sayang teman saya karena itu saya harus menyampaikan hal itu".
Saya sudah mengira usaha ini akan ada efek samping, tapi saya tidak tahu akan sebesar ini, sejak itu rasanya hubungan kami kian longgar, saya khawatir ini bukan saja karena kami jarang ketemu tapi juga karena masalah malam itu. Saya jadi bingung apakah saya sudah melakukan hal yang tepat atau justru sebaliknya. Yang saya tau ternyata ada syok dan kaget ketika kita mengetahui kondisi yang sebenarnya tidak seperti yang kita duga. Kita terkadang tidak nyaman dengan kondisi nyata dan lebih memilih untuk berada di balik topeng. Tapi sekali lagi, hanya satu niat saya, karena sebagai teman, saya sayang padanya, tidak kurang tidak lebih.
(Dear friend please forgive me)
Comments
Post a Comment