Lembaga Sensor di Ujung Tanduk

Permintaan untuk meniadakan Lembaga Sensor Film Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang dimotori oleh sineas-sineas muda merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan pada beberapa tahun terakhir kondisi perfilman Indonesia mulai menunjukkan geliat kehidupan setelah lama mati suri. Namun tak disangka tatkala ruh perfilman mencoba untuk bangkit maka yang divonis sebagai penghambat utama perkembangannya adalah Lembaga Sensor Film.

Sebenarnya alasan permintaan MFI untuk membubarkan LSF cukup masuk akal. Mereka berpikir bahwa selama ini LSF terlalu arogan dalam menghilangkan beberapa fragmen film mereka. Bagi kita para penonton maupun LSF mungkin hal tersebut tidak terlalu penting, namun bagi mereka para sutradara, artis dan produser, penghilangan sedikit bagian saja merupkan pencederaan serius terhadap hasil karya kebanggaan mereka. Betapa tidak, pasti butuh tidak sekedar waktu, biaya dan usaha untuk menampilkan potongan film mereka yang disensor. Apalgi selama ini mereka hanya bisa pasrah tanpa bisa mengajukan protes maupun menghadirkan pengacara demi membela buah karya mereka yang dihapus. Namun yang paling penting bagi mereka, LSF adalah symbol dari “pemasungan” terhadap kreativitas dan seni yang selama ini mereka agung-agungkan yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan film Indonesia.

Sebagai pengganti LSF mereka menawarkan ide untuk mendirikan lembaga klasifikasi dan rating film. Hal ini berangkat dari pemikiran mereka bahwa saat ini yang diperlukan bukanlah penyensoran tapi pemberian rating. Dengan hal itu diharapkan masyarakat tahu mana film yang sesuai bagi umur mereka dan mereka mengklaim bahwa system ini dapat sekaligus mencerdaskan masyarakat dalam mengambil keputusan. “anak-anak tidak lagi dapat menonton film dewasa dan orang dewasa tidak pula kehilangan haknya untuk menonton film sesuai kelasnya”, ujar mereka. Dalam keyakinan mereka, kewajiban mendidik anak-anak adalah tanggung jawab orang tua bukan tanggung jawab para sineas film. Orangtua lah yang seharusnya yang seharusnya dapat menjaga anaknya untuk tidak mengkonsumsi film-film dewasa bukan mereka yang harus mengorbankan karya mereka.

Namun dengan melihat kondisi bangsa kini kita juga harus bijak dalam memandang permasalahan ini. Kita memaklumi keberatan MFI atas penyensoran film mereka tetapi kita juga tak bisa menutup mata bahwa dengan hadirnya LSF saat ini pun betapa banyak film Indonesia yang secara lugas menampilkan adegan-adegan sensual dan kekerasan. Sebagai contoh perhatikan saja film “love” dan “kawin kontrak” yang belum lama beredar. Memang benar seks merupakan daya magnet yang besar untuk menarik penonton. Karena memang secara naluri, dan didukung oleh riset pasar, manusia (termasuk masyarkat Indonesia) memiliki kecenderungan ke sana. Namun kita juga tak dapat menutup mata bahwa di sisi lain kita juga berbahagia dengan hadirnya film-film berkualitas seperti “Nagabonar jadi Dua” atau “Ekskul” (terlepas dari plagiatismenya) yang tidak harus menampilkan lekuk-lekuk tubuh maupun kekerasan namun tetap dapat meraup banyak penonton.

Berangkat dari keyataan tersebut izinkan saya memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, perlu adanya kejelasan dari pihak lembaga sensor film mengenai karakteristik potongan film yang akan disensor sehingga para sineas tak perlu susah payah membuat bagian film tersebut. Kedua, perlunya pengaturan yang tegas dalam bioskop untuk melarang remaja maupun anak-anak untuk mengkonsumsi film dewasa. Ketiga, perlunya para sineas muda untuk menyadari bahwa terkadang kita tak perlu didikte oleh keinginan pasar untuk menonton film-film porno, tapi saatnya film-film kita justru mendikte dan mendidik pasar. Janganlah menjual moralitas bangsa demi pundi-pundi uang para kapitalis. Saat nya kita bahu membahu demi membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Comments

Popular posts from this blog

Membuat Iklan TV yang Berhasil

Mengetuk Pintu Akhirat, Kecelakaan yang mengubah kehidupan

Kegelisahanku