UN, Sekolah dan Kultur Kecurangan Nasional

Oleh : M.T. Assyaukani

Mahasiswa IPB

Sebuah pembicaraan menarik terjadi antar dua siswi SMU di sebuah angkutan umum Bogor. “Nin, kemaren UAN gimana? Bisa ga?, kalo gue kemaren SMS-an sama temen gw di SMU laen, lumayan dapet jawaban banyak, bebas lagi, sama pengawasnya boleh kok, malah kayanya emang sengaja, kalo sekolah lo gimana?”. Siswi kedua berkata, Oh kalo di sekolah gw, di saat terakhir, kita semua dikasih secarik kertas sama guru, di situ dah ada list jawabannya, katany si hasil kerjaan guru”.

Kultur Kecurangan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek kecurangan, mau atau tidak mau, harus diakui mulai menjadi budaya dalam sistem pendidikan kita. Kecurangan pendidikan sekarang bukan lagi pembicaraan tabu yang harus disembunyikan tetapi sudah menjadi konsumsi umum yang bahkan tidak malu-malu untuk dibicarakan di tempat umum seperti angkot. Hampir seluruh siswa di setiap sekolah pasti sangat akrab dengan apa yang disebut “mencontek” baik mereka lakukan sendiri maupun oleh temannya. Bukan hanya siswa bahkan para penyelenggara pendidikan seperti guru, kepala sekolah bahkan oknum dinas pendidikan pun ikut dalam membangun kultur ini. Contoh paling baru adalah fakta yang disampaikan oleh kelompok Air Mata Guru di Medan. Mereka mengungkapkan mengenai keterlibatan pihak penyelenggara dalam kasus kecurangan UN di Medan di mana para kepala sekolah secara sistematis dan terencana memberikan kunci jawaban pada siswanya selama UAN (Kompas, 27 April 2007).

Faktor utama yang membangun struktur budaya kecurangan adalah makin menipisnya rasa malu dalam diri peserta dan penyelenggara pendidikan akan sikap berlaku curang. Kegiatan pendidikan sebenarnya adalah tindakan mulia dan penuh pahala karena mendidik dan dididik adalah rangkaian dari ibadah secara tidak langsung. Kualitas pendidikan juga berbanding lurus dengan kualitas suatu bangsa sehingga dengan melakukan kegiatan pendidikan yang baik berarti secara langsung kita secara signifikan telah berperan dalam kemajuan bangsa kita sendiri. Akan tetapi kemuliaan itu kita mulai memudar. Praktek-praktek kecurangan dalam pendidikan nasional kerap menghiasi halaman-halaman media massa kita. Bahkan bagi beberapa siswa, praktek-praktek kecurangan ini menjadi sebuah kebanggaan bagi mereka, bangga karena dapat mengelabui pengawas dengan teknik masing-masing, bangga karena itu bukti saling tolong-menolong antar teman dan bangga karena mereka menganggap sekolah mereka perhatian terhadap “masa depan” mereka.

Membangun sistem pendidikan anti kultur kecurangan

Membangun budaya anti kecurangan harus melibatkan peranan sekolah dan elemen-elemennya. Elemen-elemen tersebut antara lain kepala sekolah, guru dan siswa itu sendiri melalui organisasi kesiswaan. Ketiga elemen tersebut harus saling bekerjasama dalam membangun sebuah paradigma pendidikan baru yang menempatkan kecurangan sebagai suatu yang patut untuk ditinggalkan.

Sebagai model sistem, apa yang diterapkan oleh sebuah SMU di wilayah Jawa Barat dalam memerangi percontekkan dapat menjadi contoh yang baik. Penanaman nilai anti mencontek dimulai ketika penerimaan dan Masa Orientasi Siswa Baru. Masa ini menjadi penting karena di saat ini lah calon siswa mendapat pengetahuan penuh terhadap budaya pendidikan di sekolah dan identitas karakter yang harus dimiliki kelak sebagai siswa sekolah tersebut.. Pada kegiatan ini penanaman sikap permusuhan terhadap percontekkan mulai ditegaskan. OSIS bersama staf pengajar secara tegas –terkadang dengan sedikit membentak- menyampaikan bahwa mencontek adalah “aib” dan memalukan bagi seorang siswa sekoah itu dan secara tegas sekolah akan menindak pelakunya.

Tindakan hukuman terhadap yang mencontek ternyata bukan sekedar omong kosong karena benar-benar diterapkan. Akan tetapi jangan dibayangkan hukumannya adalah berupa sangsi administratif, skors atau bahkan fisik. Hukumannya sangat unik, yaitu hukuman mental yang bersikap kolektif (bersama-sama). Misalnya saja suatu ketika ada satu siswa yang tertangkap basah melihat kertas jawaban temannya ketika ujian, guru tidak langsung mengambil atau memarahi murid tersebut . Akan tetapi keesokan harinya berita pencontekkan itu langsung bisa diketahui oleh seluruh guru dan siswa yang ada di sekolah tersebut. Namun keunikan berikutnya muncul karena bukan hanya murid itu yang dipanggil melainkan satu angkatan yang dipanggil baik oleh kakak kelas dan guru untuk “disidang” sehingga seolah-olah satu angkatan itu menjadi objek tersalahkan atas kesalahan salah satu anggotanya. Hukuman itu masih belum cukup karena beberapa hari berikutnya beberapa guru setiap sebelum memulai pelajaran selalu menyampaikan kalimat “Sepertinya sekolah kita tidak bisa layak lagi disebut sekolah bagus karena salah satu kondisi sekolah bagus adalah tidak ada pencontekkan di dalamnya”. Rangkaian hukuman itu diakhiri dengan drama pembuatan surat pernyataan dengan inisiatif sendiri oleh para siswa angkatan tersebut untuk tidak mencontek lagi. Hukuman-hukuman cerdas seperti ini dapat menyentuh substansi inti yaitu memunculkan perasaan malu dan bersalah pada diri siswa. Perasaan tersebut kemudian menjadi pengalaman seumur hidup yang sangat berharga untuk mencegah perilaku kecurangan di kemudian hari.

Mungkin bangsa kita perlu berupaya bersama membangun sebuah pandangan baru mengenai “kecurangan”. Pandangan yang menempatkan kecurangan bukan menjadi sebuah jalan pintas. Kecurangan tidak boleh menjadi kebanggaan atas kemampuan mengelabui sistem yang rapuh. Akan tetapi pandangan yang harus terpatri dalam setiap benak pelaku pendidikan adalah bahwa bertindak curang adalah sebuah aib dan sama sekali tidak layak untuk dibanggakan, sebuah tindakan yang amat memalukan untuk dilakukan oleh siswa sebuah negara bermoral seperti Indonesia.

Comments

  1. Anonymous6:02 pm

    kani, nyontek master juga ga jujur lo.....

    ayo, jangan nyontek master lagi...

    chayo

    ReplyDelete
  2. Anonymous9:25 pm

    makin ke sini, gw makin rapuh neh, mulai mencari2 alasan bwt ngelakuin kecurangan. ada perasaan bersalah, tapi tetep aja bikin alasan buat ngelakuin kecurangan. gw gak pernah ngerjain ujian kerja sama, tapi klo bikin catetan kecil, baru2 ini jadi sering, hehe.. alesannya si, udah susah banget nginget bahan kul!! seringnya si rumus2 yang kelewatan banget!!
    menurut kani gimana neh?????
    - ini dari dimas m, anak Malta. awas klo lupa!!!-

    ReplyDelete
  3. Anonymous2:07 pm

    Ini masalah mental dan pemahaman seseorang akan sebuah perilaku yang semakin membudaya (kalo bisa jangan sampe jd budaya). Ok... Sip.... lah.......

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Membuat Iklan TV yang Berhasil

Mengetuk Pintu Akhirat, Kecelakaan yang mengubah kehidupan

Kegelisahanku